Friday, August 27, 2010

Lingkungan Pemasaran Eksternal : Politik dan Hukum (Political and Legal Environment)

Lingkungan pemasaran eksternal yang lain adalah lingkungan politik dan hukum.

Yang termasuk ke dalam lingkungan politik adalah sikap dan reaksi masyarakat, kritik sosial dan pemerintahan suatu negara.

Nasionalisme dapat membatasi pasar internasional. Pengertian nasionalisme adalah penekanan kepada kepentingan negara dibandingkan kepentingan lainnya. Nasionalisme disini juga berarti lebih memilih untuk membeli produk-produk dalam negeri dibandingkan produk luar negeri.
Contoh : Iklan layanan masyarakat dengan slogan "belilah produk-produk dalam negeri". Salah satu perusahaan dalam negeri yang menggunakan nasionalisme dalam iklannya adalah Maspion.

Pengelompokkan negara-negara ke dalam organisasi tertentu juga dapat menjadi pertimbangan pemasar. Masing-masing organisasi mempunyai peraturan dan membuat keputusan yang diikuti oleh anggotanya. Dengan mengikuti perkembangan yang ada dalam organisasi-organisasi tersebut, para pemasar akan melihat kesempatan pemasaran di balik keputusan organisasi-organisasi tersebut.
Contoh : ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations. Adanya kesepakatan tentang bebas bea masuk untuk sesama anggota ASEAN akan memudahkan perusahaan di tiap negara untuk melakukan perdagangan antar negara di regional tersebut.

Berkembangnya Uni Eropa dengan mata uang tunggal Euro juga memberikan kesempatan sekaligus tantangan bagi para pemasar. Mata uang tunggal memudahkan transaksi dalam negara-negara yang ada di dalam Uni Eropa. Perbedaan peraturan di setiap negara tetap perlu diperhatikan oleh para pemasar untuk menghindari adanya tuntutan hukum.
Contoh : Land's End menghadapi masalah di Jerman dengan jaminan seumur hidup. Peraturan di negara Jerman melihat jaminan sebagai harga tinggi yang disembunyikan oleh produsen.

Lingkungan politik seringkali mempengaruhi lingkungan hukum.

Pada dasarnya seluruh peraturan yang diterbitkan adalah untuk melindungi konsumen. Salah satu peraturan tersebut adalah Undang-Undang Anti Monopoli yang hampir ada di setiap negara. Monopoli membuat tidak adanya kompetisi di pasar, produsen dapat menaikkan harga atau menurunkan kualitas tanpa takut dengan adanya pesaing, oleh karena itu monopoli dapat merugikan konsumen. Monopoli dapat berlaku pada tingkat produk dan juga saluran distribusi.
Contoh : UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebelum adanya undang-undang ini, Indofood menguasai pangsa pasar 90% disektor mi instan dan 90% tepung terigu nasional melalui Bogasari Flour Mills. Hal ini disebabkan adanya saluran distribusi tunggal untuk impor tepung terigu oleh Bogasari Flour Mills berdasarkan penunjukkan Bulog pada saat itu.

Pelanggaran pada wilayah hukum dapat berakibat pada denda atau hukuman penjara.
Contoh : PT Direct Vision, penyelenggara televisi berbayar Astro TV, terancam sanksi ganti rugi materil hingga Rp 2 triliun karena dianggap memonopoli siaran Liga Inggris.

Makanan dan Obat-obatan perlu diketahui, dites dan disetujui oleh organisasi tertentu.
Contho : BPOM (Badang Pengawas Obat dan Makanan). Pengunaan formalin sebagai pengawet makanan, daging gelodongan yang tidak layak konsumsi, dan jamu yang bahan kimia merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang ditangani BPOM di Indonesia.

Kemanan produk pun dikendalikan. Peraturan tertentu mengharuskan perusahaan menetapkan standar keamanan bagi barang produksinya. Kemananan harus dimasukkan sebagai pertimbangan dalam pembuatan produk. Terkadang peraturan yang ketat tentang keharusan produsen membuat peringatan bagi konsumen dalam penggunaan produk mereka menjadi menarik.
Contoh : Peringatan bertuliskan "Do Not Iron Clothes on Body." pada setrika merek Rowenta.

Hukum pada tingkat nasional dan lokal dapat berbeda.
Contoh : Penolakan UU Anti Pornografi oleh masyarakat Bali, karena undang-undang tersebut dianggap dapat menghilangkan beberapa budaya yang sudah ada disana, misal budaya "pertandingan ciuman massal" atau biasa disebut Omed Omedan.

Desakan dari para pembela konsumen dan hukum secara perlahan akan membuat pandangan dari "Let the buyer beware" menjadi "Let the consumer beware".

Untuk kasus di Indonesia, sangat disayangkan karena masih adanya kasus Prita Mulyasari yang dituntut oleh pihak RS Omni Internasional. Prita dijerat dengan hukum UU ITE pasal 27 ayat 3 yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" sementara UU Perlindungan Konsumen Pasal 4d menyatakan hak konsumen adalah "Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan".

Silahkan bertanya jika ada tulisan saya yang belum jelas.
Saran dan kritik juga akan sangat saya hargai. Terima kasih.

No comments:

Post a Comment